Permenristekdikti Nomor 44 Tahun 2015 Memberatkan Perguruan Tinggi
Kehadiran beberapa Rektor perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia dalam rapat dengar pendapat umum Panja SN DIKTI Komisi X DPR RI mendapat apresiasi dan sambutan hangat dari para legislator.
Anggota Komisi X DPR RI Marlinda Irwanti dengan tegas mengatakan, setelah mendengar berbagai paparan yang disampaikan para Rektor tersebut, semakin meyakinkan bahwa Keberadaan Panja SN DIKTI itu ternyata memang sangatlah penting.
“Regulasi dari Permenristekdikti nomor 44 tahun 2015 itu ternyata sangat memberatkan perguruan tinggi, ini seperti tsunami perguruan tinggi. Kami merasa miris setelah kami mendengarkan paparan dari Universitas-universitas yang World Class Univercity. Kalau yang sekelas World Class Univercity saja seperti ini tanggapannya, lalu bagaimana dengan perguruan tinggi yang baru? karena regulasinya disamaratakan,” tandas Marlinda di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/07/2017).
Ia menyatakan, harus ada diskresi bagi perguruan tinggi yang sudah dinyatakan sebagai World Class. Menurutnya selama ini Menristekdikti selalu mengatakan bahwa pihak kementerian telah melakukan pembinaan dari perguruan tinggi yang sudah mencapai World Class dengan bangganya. Padahal hal itu justru mempersulit dan menekan habis-habisan perguruan tinggi-perguruan tinggi tersebut.
“Bagaiamana mereka akan bekerja dengan cepat kalau regulasi-regulasi itu membuat mereka kemudian menjadi terhambat. Selain itu kita juga sudah defisit profesor, bahkan mungkin suatu saat kita sudah tidak ada profesor lagi, akibat adanya aturan-aturan yang sangat dipersulit,” jelasnya.
Sementara itu, dalam paparan salah seorang Rektor yang hadir, ia menyampaikan bahwa ketika berbicara tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT), maka peserta didik yang miskin itu harus ditolong. Seharusnya bagi yang memiliki kemampuan tinggi, diakomodasikan untuk dapat mensubsidi yang tidak mampu, namun justru kenyataannya tidak demikian.
“Ada dua hal yang membuat seseorang mau menurunkan martabatnya, yakni di bidang pendidikan dan kesehatan. Di bidang pendidikan, ketika masuk kalau bisa mendapat beasiswa, dibayari dan juga murah. Lalu di bidang kesehatan, ketika dilayani minta pelayanan kesehatan yang hebat, tetapi sesudah dilayani dan mengetahui besarnya tarif, kemudian minta pindah ke kelas yang lebih rendah,” ujar salah seorang Rektor tersebut.
“Disatu sisi kita dibatasi oleh UKT, tetapi kita juga dituntut memiliki penelitian-penelitian yang hebat. Tidak mungkin kita memiliki penelitian yang hebat sementara kita juga dihambat oleh masalah regulasi. Publikasi Indonesia sering gagal di tingkat Internasional, karena penelitian-penelitian eksperimental itu menjadi ditolak sebab menggunakan alat yang sudah out of date. (dep/sc)/foto:arief/iw.